Tak tertutup kemungkinan, pada suatu masa, sebuah brand mengalami kemunduran. Padahal, pada saat bersamaan, zaman sudah semakin canggih dan memberikan banyak kemudahan dalam mengomunikasikan persoalan dan menyampaikan solusi bahkan pemulihan keadaan.
Jika kondisi ini yang terjadi, tak usahlah resah berkelanjutan? Brand yang terpuruk bisa bangkit kembali karena sebuah opini. Jika opini itu digulirkan terus-menerus, masyarakat akan memiliki penilaian berbeda dari keresahan yang sebelumnya ada. Inilah pentingnya brand awareness di masa krisis.
Cakap dalam komunikasi krisis memerlukan keahlian tim dalam membaca suasana dan memanfaatkan media yang ada. Jika media sosial sedang menjadi raja publikasi, maka saatnya kita menggunakan sebanyak-banyaknya untuk kemanfaatan bersama “rakyat pengikutnya” alias warganet.
Media sosial dan warganet adalah keterikatan yang tak terpisahkan. Kekuatannya mampu membalik keadaan jika opinion war alias “perang opini” berhasil dimenangkan oleh tim komunikasi krisis yang andal dan menguasai psikologis warganet.
Media sosial dapat dijadikan andalan karena sifatnya yang cepat dan real time. Jadi, tim PR bisa sesegera mungkin merespons krisis dan menyebarkan informasi hanya dalam hitungan detik. Hal ini memungkinkan perusahaan memperbarui informasi terkini kepada publik. Dengan alasan real time pulalah, media sosial menjadi alat bantu penting untuk memantau isu krisis.
Melalui media sosial, perusahaan bisa berinteraksi langsung dengan publik. Komentar dan pertanyaan publik seputar krisis yang tengah terjadi bisa segera direspons. Hal ini berguna pula untuk mengurangi ketidakpastian dan mencegah munculnya informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu keunggulan media sosial adalah kemampuannya menampilkan visual yang menarik. Sudah menjadi sifat dasar manusia lebih mudah memahami visual ketimbang tulisan. Melalui media sosial, tim PR bisa menyajikan konten visual yang menarik untuk menggambarkan penanganan krisis yang sedang dilakukan.
Media sosial memiliki sifat keterjangkauan yang luas. Dengan media sosial, informasi yang ingin disampaikan tim PR tentu akan mampu menjangkau khalayak secara lebih luas ketimbang menyebarkannya melalui media arus utama. Pun begitu, biayanya jauh lebih rendah daripada media arus utama.
Memantau pengelolaan krisis yang sedang diupayakan perusahaan juga jauh lebih mudah melalui media sosial. Berbagai fitur analisis dimiliki media sosial. Paling gampang adalah melakukan monitoring dalam hal interaksi dengan warganet, semisal like, comment, atau retweet.
Untuk menghasilkan tim komunikasi krisis yang mengusai “perang opini” saat terjadi keterpurukan imej, perusahaan perlu melakukan capacity building bagi sumber daya manusia yang ditempatkan di bagian PR. Upaya ini menjadi sebuah keniscayaan agar seluruh tim PR memiliki langkah tanggap darurat dalam merespons terpaan awal isu buruk atau krisis bermula.
PR dituntut memiliki strategi komunikasi krisis yang baik, memiliki protokol komunikasi krisis yang terlembaga dengan baik, serta melek tren media terkini. Inilah menjadi alasan pentingnya memahami pengelolaan media sosial dengan seluk-beluk hingga engagement-nya dengan warganet target.
Beberapa kecakapan ini juga harus diimbangi dengan integritas dan transparansi. Tim PR tak hanya bertugas sekadar memenangkan opini dan membalikkan keadaan. Bagian terpenting dari pengelolaan komunikasi krisis adalah mampu “memenangkan perang” sembari tetap berlandaskan pada kejujuran dan transparansi.
Jika salah, sampaikanlah permintaan maaf, seraya berjanji akan segera menuntaskan kekeliruan yang sudah terlanjur hadir. Pun, tak ketinggalan pula untuk menyajikan fakta terbaik tentang imej yang sudah terbangun lama. Itulah kenapa manajemen reputasi memegang peran penting dalam pengelolaan komunikasi krisis.
Oleh: Tami Kusnadi