Dalam dunia birokrasi ataupun bisnis yang dinamis, risiko terhadap krisis tak bisa dihindari. Cara sebuah instansi atau perusahaan merespons dan mengelola krisis, dapat berdampak besar terhadap reputasi dan keberlangsungan organisasi atau bisnis di masa datang. Mengelola komunikasi di tengah krisis menjadi kemampuan yang mesti dimiliki tenaga public relation (PR).
Di tengah era digital, korporasi plat merah maupun privat menghadapi tantangan yang sama. Korporasi milik pemerintah berhadapan dengan kepentingan masyarakat luas yang dijamin dalam undang-undang. Sedangkan perusahaan privat menghadapi kepuasan pelanggannya sebagai raja.
Perusahaan plat merah yang relatif menghadapi tantangan komunikasi krisis nyaris sepanjang tahun, di antaranya adalah sebuah korporasi perkebunan. Korporasi ini melakukan transformasi bisnis besar-besaran dengan menggabungkan sejumlah anak perusahaan ke dalam sebuah holding besar.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapinya adalah sengketa lahan. Maklum, saat belum bertransformasi, korporasi ini memiliki lahan yang begitu luas, tetapi banyak yang tidak digarap secara serius. Alhasil, selama bertahun-tahun lahan tersebut diduduki dan dijadikan usaha perkebunan oleh masyarakat di sekitar lahan.
Saat korporasi akan melakukan mengambilalihan lahan dan menjadikannya sebagai lahan perkebunan, masyarakat yang sudah terlanjur menempati lahan tersebut merasa diusir secara paksa. Inilah awal mula pemicu terjadinya sengketa lahan. Bahkan, sebagian malah sudah menjurus ke arena konflik agraria antara korporasi dan masyarakat sekitar lahan perkebunan.
Tak ayal, korporasi harus berhadapan secara vis a vis dengan warga. Di beberapa wilayah, benturan dengan warga bahkan tak dapat dielakkan. Akibatnya, citra perusahaan menjadi terjerembab lantaran dinilai telah melakukan pengambilalihan lahan secara paksa. Uang “tali asih” yang dibayarkan korporasi tak lagi dinilai sebagai bentuk win win solution.
Situasi ini menyudutkan citra perusahaan. Untuk itulah, dibutuhkan pengelolaan komunikasi krisis yang tepat agar tak berdampak besar bagi korporasi maupun stakeholders. Ketika isu konflik meluas, diperlukan penyelesaian dengan penanganan khusus. Perusahaan, melalui tim PR, wajib memastikan beberapa hal agar komunikasi krisis tidak hanya berbuah pemulihan citra, tetapi juga menjadi resolusi penyelesaian dan pencegahan terjadiya konflik di masa datang.
Agar pengelolaan krisis mencapai tahap yang diinginkan, korporasi harus sanggup membangun pola komunikasi krisis yang mengedapankan transparansi dan keotentikan. Jujur adalah kata kuncinya. Sikap jujur menunjukkan kematangan dalam berkomunikasi. Sepahit apapun situasinya, apalagi di saat krisis.
Perusahaan mesti jujur ketika menyampaikan informasi kepada publik, yang disertai dengan kerendahan hati saat berbicara. Kemampuan mengelola informasi yang jujur dan sikap rendah hati tersebut menunjukkan esensi humanisme perusahaan terhadap publik. Pada gilirannya, dapat menciptakan empatinya terhadap isu atau persoalan yang sedang dihadapi.
Korporasi juga harus bisa memberikan respons cepat dan tepat. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kevakuman informasi. Jika vakum, tentu akan banyak pihak yang tidak bertanggung jawab dapat memanfaatkannya demi kepentingan mereka.
Sebangun dengan korporasi plat merah itu, sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang transportasi juga pernah mengalami krisis yang cukup parah. Kejadiannya diawali dengan dugaan hilangnya gawai milik salah satu penumpang bus milik perusahaan otobus itu di dalam bus yang dinaikinya dari Wonosobo ke Jakarta. Lalu, si penumpang mencuitkan kasusnya di media sosial. Dan, viral!
Beruntung, perusahaan otobus tersebut dengan sigap segera menyalakan alarm krisis atas kejadian tersebut. Sejumlah langkah segera diambil. Meminta maaf secara terbuka di media sosial dan media arus utama, menjadi langkah terdepan. Senyampang dengan itu, manajemen perusahaan otobus mengutus perwakilannya untuk menemui langsung korban.
Manajemen perusahaan otobus juga segera “membanjiri” media arus utama dengan informasi ketentuan hukum menyangkut kehilangan barang penumpang di dalam bus. Pun, meminta pendapat narasumber yang memahami betul ketentuan tersebut.
Memantau percakapan di media sosial juga menjadi bagian penting dalam mengelola kominukasi krisis yang dilakukan manajemen perusahaan otobus. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kasus itu menjadi percakapan serius di media sosial.
Singkat kisah, tak sampai dua pekan, kasus dugaan kehilangan barang milik penumpang di dalam bus berangsur melandai.
Dari dua kasus pengelolaan komunikasi krisis di atas, secara benderang memperlihatkan betapa era digital begitu penuh tantangan. Untuk itu, diperlukan kemampuan dalam mengelola komunikasi krisis. Ini akan menjadi kunci bagi keberlangsungan perusahaan. Diperlukan pendekatan yang mengedepankan transparansi, responsif, dan etika, melalui strategi komunikasi krisis yang terarah dan pelatihan yang efektif.
Beberapa instansi dan perusahaan berskala multi nasional telah berhasil mengatasi ujian yang mereka hadapi dan menjaga reputasi tetap kukuh di mata publik. Bagaimana dengan instansi atau perusahaan Anda?
Oleh: Mahkota El Amien